referendum yogyakarta,mengapa tidak?


kota yang paling memberi saya banyak kenangan dalam hidup saya,saya melamar istri tercinta di lesehan malioboro secara terbuka dengan saksi pengamen jalanan beberapa tahun silam...kearifan budaya dan masayarakat yogyakarta sudah tidak perlu ada bantahan dan sanggahan,....


tapi sedih juga ketika para elite politik menjadikan yogyakarta sebagai ajang polemik,sebenarnya apa sih maunya para elite,falsafah "mikul duwur mendem jeru" sudah tidak berlaku lagi di benak pemimpin negeri kita tercinta....

SBY akan mengakhiri keistimewaan yogykarta,kalimat itu bagaikan tamparan bagi seluruh rakyat kasultanan Yogyakarta,saya tidak tahu apa yang ada di benak SBY,dan reaksi rakyat Yogyakarta tentu akan sama dengan reaksi rakyat Pacitan ketika suatu saat presiden Indonesia yang akan datang mengeluarkan ucapan "Pacitan akan di hapus dari peta Indonesia"

bagaimana reaksi rakyat pacitan yang notabene tempat lahir SBY jika tanah kelahiran mereka di hilangkan dari peta Indonesia?kira-kira sama dengan reaksi rakyat Jogja saat ini.....

"DIY secara formal dibentuk dengan UU No. 3 Tahun 1950  (BN 1950 No. 3) yang diubah dengan UU No. 19 Tahun 1950 (BN 1950 No. 48). Kedua UU tersebut diberlakukan mulai 15 Agustus 1950 dengan PP No. 31 Tahun 1950 (BN 1950 No. 58). UU 3/1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta sangatlah singkat (hanya 7 pasal dan sebuah lampiran daftar kewenangan otonomi). UU tersebut hanya mengatur wilayah dan ibu kota, jumlah anggota DPRD, macam kewenangan, serta aturan-aturan yang sifatnya adalah peralihan. UU 19/1950 sendiri adalah perubahan dari UU 3/1950 yang berisi penambahan kewenangan bagi DIY. Status keistimewaan Yogyakarta tidak diatur lagi dalam UU pembentukan karena telah diatur dalam UU 22/1948 . Dalam UU 3/1950 disebutkan secara tegas Yogyakarta adalah sebuah Daerah Istimewa setingkat Popinsi B U K A N sebuah Propinsi. Walaupun nomenklaturnya mirip, namun saat itu mengandung konsekuensi hukum dan politik yang amat berbeda terutama dalam hal kepala daerah dan wakil kepala daerahnya . Walau begitu DIY bukan pula sebuah monarki konstitusional "

aturan dan kewenangan serta dasar di bentuknya DIY jelas,mengapa harus di perkeruh lagi?

Subtsansi Istimewa bagi Daerah Istimewa Yogyakarta terdiri dari tiga hal :

Pertama, Istimewa dalam hal Sejarah Pembentukan Pemerintahan Daerah Istimewa (sebagaimana diatur UUD 45, pasal 18 & Penjelasannya mengenai hak asal-usul suatu daerah dalam teritoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbestuurende-landschappen & volks-gemeenschappen serta bukti - bukti authentik/fakta sejarah dalam proses perjuangan kemerdekaan, baik sebelum maupun sesudah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 hingga sekarang ini dalam memajukan Pendidikan Nasional & Kebudayaan Indonesia.

Kedua, Istimewa dalam hal Bentuk Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta yang terdiri dari penggabungan dua wilayah Kasultanan & Pakualaman menjadi satu daerah setingkat provinsi yang bersifat kerajaan dalam satu kesatuan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (sebagaimana disebutkan dalam Amanat 30 Oktober 1945, 5 Oktober 1945 & UU No.3/1950).

Ketiga, Istimewa dalam hal Kepala Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta yang dijabat oleh Sultan & Adipati yang bertahta (sebagaimana amanat Piagam Kedudukan 19 Agustus 1945 yang ditulis secara lengkap nama, gelar, kedudukan seorang Sultan & Adipati yang bertahta sesuai dengan angka urutan bertahtanya).

"Kepala Daerah Istimewa diangkat dari keturunan keluarga yang berkuasa menjalankan pemerintahan daerah itu di zaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih berkuasa menjalankan pemerintahan di daerahnya, dengan memperhatikan syarat-syarat kecakapan, kejujuran, kesetiaan pada Pemerintah Republik Indonesia serta adat istiadat dalam daerah itu dan diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.(Pasal 6 ayat (1) PenPres No 6/1959) " dan penpres ini masih berlaku,tetapi  mengapa SBY ngotot bahwa Gubernur DIY harus di pilih lewat pemilihan kepala daerah langsung?

jadi memang wajar-wajar dan sah-sah saja jika rakyat Yogyakarta menuntut referendum untuk sekedar mengingatkan para elite politik agar jangan mengingkari hak-hak dasar rakyat Yogyakarta...so..jika memang terjadi referendum,walaupun saya bukan orang yogya,saya mendukung....

5 Responses so far.

  1. Karena sekarang saya tinggal di Jogja, meski bukan warga asli, rasanya tak enak kalau saya tidak ikutan berkomentar mengenai referendum di Jogja ini. Dan komentar saya tentang polemik seputar gubernur apakah akan terus dijabat otomatis oleh Sultan seumur hidup sampai dengan seluruh keturunannya, ataukah diperlakukan sama seperti propinsi lain, yaitu gubernur dipilih melalui Pilkada. Sebenarnya mudah saja untuk memutuskannya. Namun ganjalannya mungkin sedikit mirip dengan kasus Raja Thailand Bhumibol. Karena Wanita!

    Kalau di Thailand anak wanita dari Raja Bhumibol dianggap lebih pantas jadi Raja karena mewarisi kearifan atau sifat-sifat bijaksana Raja Bhumibol ketimbang anak laki-laki sulungnya yang tak pantas menjadi Raja karena kelakuan buruk sang putra mahkota, yang tentunya samasekali tak mencerminkan sifat seorang calon Raja. Kalau di Jogja penerus tahta benar-benar tidak ada karena kelima anak Sri Sultan Hamengkubuwana X semuanya adalah wanita.

    Karena semua kerajaan rata-rata menganut sistem garis keturunan laki-laki, yang artinya tidak bisa meneruskan tahta kepada keturunan wanita maka problemnya nanti sepeninggal mangkatnya Sultan Hamengkubuwono X siapa penerusnya yang akan menduduki tahta kerajaan dan sekaligus menjadi gubernur Jogja?

    Saya tak tahu apakah karena alasan ini mengapa pemerintah dan para DPR tak segera memutuskan tentang polemik ini. Apakah takut Jogja akan kisruh seperti nasib kerajaan Majapahit dulu sewaktu tahta diserahkan ke putri mahkota Raja Hayam Wuruk bernama Kusumawardhani yang notabene tak bisa diterima karena juga seorang wanita?

    Monggo, Mas Widodo diputuskan gimana baiknya aja. Apakah saya aja yang harus menggantikan Sultan? Saya punya penerus anak laki-laki, kok. He...He...

  2. widodo says:

    Mas Joko...sepertinya sampeyan pantas juga menggantikan sang Sultan...tapi pas cuman gunting pita saja pantesnya..ha...ha....

    ++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
    sebetulnya yang di inginkan masayarakat yogya sederhana dan tidak sebersit ada keinginan tentang adanya monarki dalam satu negara..hanya ingin keistimewan Yogyakarta di akui,itu saja....

    dan kepres serta penpres tidak menyebutkan bahwa gubernur harus laki-laki,UU tentang DIY hanya menyebutkan bahwa Kepala Daerah Istimewa diangkat dari keturunan keluarga yang berkuasa menjalankan pemerintahan daerah itu di zaman sebelum Republik Indonesia ,tidak menyebutkan secara spesifik bahwa gubernur harus gender tertentu...

  3. Kombor says:

    Mas Joko Sutarto, penerus Sultan tidak harus keturunannya apabila Sultan tidak punya putra. Dalam sejarah Ngayogyakarto Hadiningrat bukannya pernah terjadi bahwa Sultan bukan keturunan ke bawah melainkan ke samping. Artinya, apabila saat ini Sultan mangkat maka penerusnya adalah adik laki-laki Sultan HB X. Ada beberapa adik, tinggal keluarga Kraton bermbug saja.

    Saya asli Sleman dan mendukung keistimewaan DIY. Saya juga siap referendum bahkan apabila pilihannya Yogyakarta jadi tetangga Republik Indonesia. Tentu pilihan itu terakhir apabila Jakarta memaksakan kehendak untuk menghapus keistimewaan DIY berupa pengangkatan Gubernur dan Wagub melalui penetapan.

  4. Kombor:
    Terima kasih, Mas Kombor Anda sudah mengingatkan saya. Saya juga masih menduga-duga, kok apakah itu yang menjadi alasannya. Semoga bukan itu yang jadi alasannya. Kalau diteruskan ke samping berarti ada 3 nama yang berpeluang menggantikan Sri Sultan Hamengkubuwono X nanti saat sudah mangkat. Yaitu GBPH Joyokusumo, GBPH Prabukusumo dan GBPH Yudaningrat. Atau juga bisa mengangkat menantu dari putri mahkotanya GRA Nurmalita Sari (GKR Pembayun) seperti contoh dulu masa kerajaan Majapahit di era Raja Hayam Wuruk karena tak punya putra laki-laki maka tahta diserahkan kepada Wikramawardhana yang merupakan suami dari Kusumawardhani, putri dari Hayam Wuruk. Hanya sayangnya, gara-gara keputusan ini menimbulkan perang saudara antara Wikramawardhana dan Wirabumi (anak Hayam Wuruk dari selir) yang terkenal dengan nama Perang Paregreg.

    Semoga polemik tentang keistiweaan tentang Jogja ini juga bukan karena adanya unsur politis yang turut bermain di dalamnya.

  5. eser says:

    Saya bukan orang Yogya tapi jujur saya sangat suka dengan budaya Yogya. Jika pemerintahan di Jogja akan dipilih langsung oleh rakyat, maka keistimewaan dari yogya dengan sendirinya akan hilang. Sebenarnya apa yang di takutkan dari Yogya oleh sebagian elit politik?
    mari kita lihat di Italia, disana (Roma) ada Vatikan... Orang sering menyebut dengan Negara didalam Negara. Apakah ada masalah? Justru itu yang menjadi suatu keunikan dari Roma. Ingat juga bahwa Kesultanan itu sudah ada sebelum Indonesia meredeka. Jadi jangan pernah kita merubah budaya yang sudah lebih dahulu ada sebelum Indonesia merdeka.
    Soal referendum, untuk sekarang ini sebaiknya saat ini jangan dulu dibahas. Toh ini masih merupakan wacana dari pemerintah pusat. Dengan adanya berbagai desakan dari masayarakat saya yakin pemerintah tidak akan melakukan hal-hal yang bisa melukai perasaan masyarakat jogja

Leave a Reply

~blog roll~

~new comments~